Menikahi Wanita Hamil Hasil Zina
a. Deskripsi Masalah
Seorang perempuan hamil karena zina ingin dinikahi oleh seorang laki-laki yang bukan ayah dari janin tersebut. Di tengah masyarakat beredar perbedaan pendapat: apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak, dan apakah hubungan suami-istri boleh dilakukan sebelum perempuan itu melahirkan?
b. Pertanyaan
Apakah menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya sah?
Apakah suami boleh menggaulinya sebelum melahirkan?
c. Jawaban
1. Hukum menikahi perempuan hamil karena zina
Menurut pendapat yang shahih dalam mazhab Syafi‘i, menikahi perempuan hamil karena zina hukumnya sah.
Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah. Alasannya, perempuan tersebut tidak sedang berada dalam pernikahan dan tidak sedang menjalani masa iddah, sehingga tidak ada penghalang untuk dinikahi.
2. Hukum menggaulinya sebelum melahirkan
Dalam mazhab Syafi‘i terdapat dua pendapat:
Pendapat yang disahihkan dua imam besar (Imam Nawawi & Imam Rafi‘i):
Boleh digauli, karena hamil dari zina tidak memiliki kehormatan hukum (ḥurmah) yang menghalangi hubungan suami-istri.
Jika hubungan itu dilarang, niscaya pernikahannya juga dilarang, sementara pernikahan dihukumi sah.Pendapat kedua (Ibnu al-Haddad, Abu Hanifah, Malik & Dawud):
Tidak boleh digauli, berdalil pada hadis:
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyirami tanaman orang lain dengan air maninya.”
Namun ulama Syafi‘iyah menjawab bahwa hadis tersebut berkaitan dengan budak wanita hamil karena hubungan yang sah (ghanimah / tawanan perang), bukan hamil karena zina. Kehamilan dari zina tidak memiliki kehormatan yang menimbulkan keharaman jima‘.
Kesimpulan:
→ Nikahnya sah,
→ Boleh digauli, tetapi lebih utama (makruh) untuk tidak menggauli sampai melahirkan, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap khilaf ulama.
d. Rujukan
فتاوى الفقهية الكبرى، ابن حجر الهيتمي، ج:4 ص: 93-94، المكتبة الاسلامية بيروت
وَأَمَّا نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنْ الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ مِنْ الْغَيْرِ وَعَنْ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَوْلٌ بِخِلَافِهِ ثُمَّ إذَا قَلَّدَ الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ لَهُ وَطْؤُهَا قَبْلَ الْوَضْعِ الَّذِي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نَعَمْ قَالَ الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لمُنِعَ النِّكَاح كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وَقَالَ ابْنُ الْحَدَّادِ مِنْ أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ لَهُ الْوَطْءُ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا بِخَبَرِ أَبِي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ «لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ» وَيُجَابُ بِأَنَّ ذَلِكَ إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عَنْ وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فَإِنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهُ تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هُوَ مَكْرُوهٌ كَمَا فِي الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ حَرَّمَهُ هَذَا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ مِنْ الزِّنَا.
“Adapun menikahi perempuan yang hamil karena zina, maka di dalamnya terdapat perbedaan pendapat yang cukup luas di antara para ulama mazhab kami dan ulama lainnya. Pendapat yang shahih menurut kami adalah: boleh dan sah, dan itu juga menjadi pendapat Abu Hanifah ra., karena perempuan tersebut tidak berada dalam ikatan pernikahan dan tidak sedang menjalani masa iddah dari laki-laki lain.
Sedangkan dari Imam Malik ra. ada satu pendapat yang berbeda.”
“Kemudian apabila seseorang mengikuti pendapat ulama yang membolehkan menikahinya, lalu ia menikahinya, maka apakah ia boleh menggaulinya sebelum melahirkan?
Pendapat yang disahihkan oleh dua imam besar (Nawawi dan Rafi‘i) adalah: boleh. Rafi‘i berkata:
‘Kehamilan dari zina tidak memiliki kehormatan (ḥurmah) yang mengharuskan pelarangan hubungan badan. Seandainya hubungan badan itu dilarang, niscaya pernikahannya pun harus dilarang, sebagaimana kasus perempuan yang hamil karena wath’i syubhah (hubungan yang dikira halal).’”
“Sedangkan Ibnul Haddad (salah satu imam mazhab kami) berpendapat: tidak boleh menggaulinya. Dan ini pula pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Dawud rahimahumullaah. Mereka berdalil dengan hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan lafaz:
‘Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyirami tanaman milik orang lain dengan air maninya.’”
“Kemudian dijawab bahwa hadis tersebut turun untuk menakut-nakuti (melarang keras) menyetubuhi tawanan perang yang sedang hamil, karena kehamilannya itu terhormat dan memiliki kehormatan hukum; maka hubungan badan diharamkan karena menghormati janin itu.
Berbeda dengan kehamilan karena zina, yang tidak memiliki kehormatan hukum yang mengharuskan pengharaman hubungan badan.”
“Dan berdasarkan pendapat yang membolehkannya, tetap dihukumi makruh, sebagaimana dalam kitab al-Anwâr dan lainnya, sebagai bentuk keluar dari perbedaan pendapat ulama yang mengharamkannya.
